Halaman Peringatan Asyura

Halaman blog ini didedikasikan untuk artikel-artikel tentang Tragedi Karbala pada hari Asyura. Peristiwa pengorbanan agung dari Imam Husain as, cucu Rasulullah saww, dan pengikutnya.

"Assalamualaika Yaa Aba Abdillah"

Tuesday, August 26, 2008

Sunday, January 28, 2007

Kebahagiaan Sejati Manusia

Kebahagian sejati merupakan tujuan setiap individu yang menjalani kehidupan di dunia ini. Segala upaya fisik dan mental individu, secara sadar ataupun tidak, diarahkan untuk mencapai tujuan ini. Seseorang dikatakan berbahagia ketika segala kebutuhannya, baik fisik, mental dan spiritual bisa terpenuhi. Aktivitas makan, minum, sex, berkeluarga, mencari nafkah, menambah pengetahuan, ritual agama, bersosial dan berpolitik pada dasarnya dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan individu untuk mencapai kebahagiaan hidup.

Maslow, seorang psikolog terkenal dengan teori hirarki kebutuhan manusia (Teori Maslow), merinci kebutuhan manusia berdasarkan hirarki. Dia membuat hirarki kebutuhan individu dari dasar sampai puncak yang dibagi dalam lima jenis kebutuhan: Fisik, Keamanan, Sosial, Penghargaan dan Aktualisasi. Hirarki kebutuhan ini dominan dengan bentuk material pada dasar hirarki dan memuncak ke atas dengan bentuk kebutuhan yang lebih abstrak (spiritual).
(klik pada gambar untuk memperbesar)



Seseorang dikatakan mengalami pengembangan pribadi yang positip jika perkembangan kepribadiannya mengarah sesuai dengan hirarki kebutuhan. Ketika pribadi seseorang telah mencapai kesempurnaan, yang berarti telah mencapai kebahagiaan hidup sejati, individu tersebut telah mencapai hirarki paling atas yaitu bisa memenuhi kebutuhan akan aktualisasi diri.

Dalam Konsep Irfani, kebahagiaan puncak individu dicapai jika individu tersebut telah mencapai keyakinan hakiki tentang keberadaan Allah, Sang Pencipta. Keyakinan hakiki (hakikat) yang dicapai melalui proses pemahaman akan arti kehidupan sejati (makrifat). Proses pemahaman ini dilakukan terus-menerus dengan melakukan disiplin-disiplin ritual, sosial, intelektual dan spiritual (tarikat/syariat). Disebutkan bahwa salah satu indikator individu yang telah mencapai hakikat adalah jika telah mampu mencicipi cinta sejati (cinta ilahiah), bisa menerima cinta Allah dan bisa mengekspresikan cinta ke Allah. Dengan kata lain, individu tersebut telah merasakan keadaan bahagia sejati.

Jika ditarik korelasi antara Teori Maslow dan Konsep Irfani, bisa disimpulkan bahwa puncak kesempurnaan pribadi dari seorang individu, seseorang yang bisa merasakan kebahagiaan sejati, diraih ketika individu tersebut telah memahami hakikat dan arti kehidupan sejati. Sehingga setiap aktifitas kehidupan dalam peng-aktualisasi-an diri didasarkan oleh keyakinannya yang hakiki tentang hakikat dan arti kehidupan.

Tragedi Karbala merupakan suatu epik sejarah yang mempertontonkan pribadi yang telah mencapai kesempurnaan dan merasakan kebahagiaan sejati. Karakter pribadi Imam Husain as dan pengikutnya, adalah karakter-karakter yang mewakili dan menjadi contoh dari pribadi-pribadi tersebut. Imam memahami arti kehidupan yang hakiki dan mengaktualisasikan keyakinannya dengan gerakan reformasi umat, pengorbanan dan kesyahidannya yang agung. Kita dapat melihat dasar keyakinannya untuk melakukan pengorbanan dari dialog yang dilakukannya dengan saudaranya Muhammad Bin Hanafiyah, ketika Imam akan memulai gerakan reformasinya. Imam menjawab dalam suratnya kepada saudaranya tersebut:

”Aku tidak keluar untuk memprovokasi atau ingin menindas. Aku ingin membawa umat kembali ke jalan Amr bil Maruf wa Nahi Anil Munkar (penganjuran kepada kebaikan dan penolakan kepada kejahatan). Aku ingin mengajak mereka ke jalan dari kakekku dan ayahku Ali bin Abi Thalib (Jalan Islam).”

Dalam kelanjutan kisahnya, yang telah kita ketahui bersama, kita dapat menilai bahwa Imam telah mencapai tujuan dari aktualisasi dirinya dengan lestarinya ajaran Islam yang murni, yang bebas dari penyalah-gunaan dan penyelewengan oleh penguasa tiran. Lebih jauh lagi, kisah kesyahidannya menjadi rekaman abadi dalam sejarah Islam dan menjadi sumber inspirasi yang mengalir terus kepada setiap muslim dan dalam pergerakan perjuangan Islam di masa-masa setelahnya. Bahkan juga menjadi sumber inspirasi bagi pergerakan lain dengan kemuliaan moralitas, yang bertujuan membebaskan diri dari kungkungan kekuasaan tirani dan penindasan.

Salam dan salawat kepada Syuhada Agung yang telah memberikan teladan kesempurnaan pribadi dan teladan pencapaian kebahagiaan sejati.

Saturday, January 27, 2007

Karbala: Perjuangan Abadi

diterjemahkan dari artikel Karbala: Everlasting Stand


Apa yang sedang anda simak sekarang adalah kisah seorang besar yang kebangkitannya tidak ada bandingannya dalam catatan sejarah. Sebuah revolusi dengan tujuan yang sangat agung, sebuah kemenangan yang merasuk dalam dan sejatinya adalah sebuah keputusan reformasi melawan penaklukan. Kisah Imam Husain, cucu dari Nabi Islam, dan perjuangannya yang abadi.

Setelah dalam tahun-tahun kekuasaan tirani yang tidak adil, api terang Islam menjadi redup dan dijaga nyalanya oleh hanya sebagian kecil orang yang setia. Agama menjadi alat belaka ditangan penguasa lalim yang mengangkangi ajarannya yang agung dan prinsip-prinsip mulianya.

Hidup di tengah dominasi sosial dari korupsi dan pilih kasih, dengan hukum dan kekayaan di tangan elite, komunitas muslim menjadi pasif dan tidak hirau dengan kesulitan yang akan dihadapi. Walau keruntuhan masyarakat terjadi dengan cepat, satu ganjalan tetap berada di tengah-tengah jalan rejim penuh dosa dan menghalanginya untuk mencapai tujuan dangkalnya. Rejim lalim ingin memperkuat kendali kekuasaannya atas umat Islam dengan mendapatkan legitimasi dari Ahlulbait Nabi, yang dianggap oleh kalangan umum saat itu sebagai perwujudan ajaran hakiki Islam. Tetapi harapan ini tetap hampa, walaupun tekanan-tekanan hebat diberikan kepada mereka; Ahlulbait Nabi tetap tegas dalam mengkritik ketidakadilan penguasa.

Ditengah masa kemerosotan etika sosial, Imam Hasan, kakak Imam Husain, mengadakan pertemuan rutin di Madinah, kota kakeknya, Rasulullah. Dalam pertemuan tersebut dia mengungkapkan keluhan masyarakat dan menyampaikan kepada mereka ajaran-ajaran Islam, menjelaskan hak-hak asasi dan dan hak kemerdekaan mereka. Dengan cara ini, kelompok khusus yang terdiri muslim yang soleh terbentuk berdasarkan keyakinan teguh akan perlunya spiritualitas dan keadilan di masyarakat, menggunakan pena, dan menyarungkan pedang, untuk mewujudkan reformasi.

Sebelum kematiannya, Hasan menunjuk Husain sebagai orang yang menjaga urusan komunitas Islam. Dengan ini, dia mengikuti perintah Nabi yang terkenal: ”Hasan dan Husain keduanya adalah pemimpin, apakah mereka sedang melakukan perlawanan ataupun tidak.” Imam Husain meneruskan upaya Hasan yang kematiannya tidak meninggalkan kekosongan dari usaha menegakkan persamaan dalam kesalehan, pengetahuan dan kebijaksanaan.

Dengan kematian ayahnya, Yazid mengambil alih kendali kekuasaan dan mengangkat dirinya sebagai pimpinan kerajaan Islam. Karakter Yazid adalah seorang yang brutal dan kejahatannya tak mengenal batas. Dengan keterbukaan dia melakukan kemaksiatan dalam bentuk perzinahan, inses dan minum anggur, yang jelas kontradiktif dengan ajaran Islam, Yazid menunjukkan dirinya sebagai produk akhir dari keluarga yang memiliki akar permusuhan yang mendalam terhadap Islam.

Tidak seperti pendahulunya, Yazid tidak menggunakan kelihaian politik ataupun kehati-hatian ayahnya. Diantara tindakan nyata yang dilakukannya sebagai pimpinan, Yazid mendesak baiat dari Husain, yang dia tahu sekali bahwa penerimaan dari seluruh komunitas muslim tidak akan berarti tanpa penerimaan Husain. Dalam jawabannya untuk menolak permintaan tersebut, Husain dengan penuh keagungan menjawab:”..seorang sepertiku tidak akan pernah membaiat seorang sepertinya.” yang dengan jawaban ini memperjelas prinsip universal dari alasan dasar perjuangannya.

Dengan ini sebuah pengorbanan agung yang melampaui batas kasta, keyakinan dan agama sedang berlangsung. Husain bangkit untuk mengembalikan kemerdekaan, perdamaian, persamaan dan keadilan; kualitas yang mana pesan ilahian telah disempurnakan tapi terus digerogoti oleh mereka yang membajak agama dan bertindak mengatasnamakan agama. Dalam wasiatya sebelum meninggalkan Madinah, Husain menulis:”Aku bangkit melawan untuk mereformasi komunitas kakekku. Aku menginginkan penganjuran kepada kebaikan dan penolakan kepada kejahatan (amar bil maruf wa nahi anil munkar)”.

Diantara ciri unik dari revolusi Husain adalah lekatnya pergerakan dengan tujuan agungnya. Husain tidak membiarkan kemarahan tak terkendali atau tekanan yang diberikan penguasa lalim di masanya mempengaruhi sedikitpun pergerakannya. Walaupun di tengah besarnya bahaya yang dihadapinya, setiap gerakannya dipertimbangkan dan dieksekusi dengan matang dan presisi tinggi. Sesungguhnya banyak di dalam kalangan masyarakat, yang ikut merasakan kelaliman Yazid dan pembantu-pembantunya, terus menasihati Husan untuk mengambil langkah lainnya. Beberapa menganjurkan Husain mencari perlindungan di dalam Mesjid Suci (Kabah) atau tempat pelarian di pegunungan Yaman, dimana dia akan aman dari pasukan Yazid, tetapi Husain tahu benar kebejatan karakter Yazid dan lebih penting lagi, kebutuhan utama akan reformasi di tengah komunitas.

Pada hari kesepuluh Muharan, bulan pertama dalam kalender Islam, Husain berjuang dengan gagah berani bersama 72 sahabat dan anggota keluarganya di dataran Karbala, yang sekarang berada dalam wilayah Irak, menghadapi sepasukan tentara dengan jumlah lebih dari 30000 orang. Dimalam sebelum hari pengorbanan agung, Husain meminta sahabatnya untuk meninggalkannya karena mereka telah menunjukkan kesetiaan dan kepatuhan, tetapi mereka tetap teguh untuk bertahan tinggal.

Kenapa bisa terjadi hal ini didepan kepastian kematian? kita akan bertanya. Jawabannya jelas: dengan kehadiran Imam, mereka telah merasakan kebenaran, kemerdekaan dan keadilan dan di atas segalanya, arti hidup yang sebenarnya. Meninggalkan Husain akan lebih buruk daripada kematian! Hal itu harusnya mengejutkan kita bahwa di hadapan pasukan yang sangat besar, para sahabat Husain mulai menyongsong musuh atau melakukan shalat ditengah hujan anak panah dan tombak. Sesungguhnya untaian sajak Husain: "Mati dalam Kemuliaan lebih baik daripada Hidup dalam Kehinaan", telah bergaung ke seluruh perkemahan, termasuk wanita, anak muda dan orang-orang tua yang berumur lebih dari 90 tahun.

Perkemahan kecil Husain dihancurkan, semua lelaki dibantai dengan brutal, wanita dan anak-anak ditawan dan berparade dalam tampilan yang memalukan mengitari kota-kota. Tetapi, tragedi ini segera dikenal dalam buku-buku sejarah sebagai ”Tragedi Karbala”. Sebuah narasi yang pengagumnya terus bertambah berlipat-lipat di seluruh penjuru dunia – termasuk pengikut dari kepercayaan dan bangsa lain. Dengan ini, Husain menjadi pemenang atas musuhnya yang berbekas mendalam dan ditulis dengan kemurnian darah, kisah teragung dari semua epik sejarah kepahlawanan dan keyakinan.

Hari Imam Husain menjadi syahid di dataran Karbala adalah hari dia dilahirkan kembali, dengan memulai revolusi yang telah melepaskan jeritan abadi kebenaran dan keadilan, yang tertanam di hati muslimin selama 1400 tahun.

Hari ini kita bertanggungjawab atas sebuah keyakinan mulia – Warisan Agung Husain – Sebuah hartakarun yang memberikan kebijaksanaan yang indah dan kekuatan ketabahan kepada para pencari. Warisan Husain memberi contoh sempurna kepada setiap masyarakat tertindas bagaimana mengatasi kejahatan tirani dan penindasan. Kami mengundang anda untuk membuat perubahan hari ini dengan bergabung dengan jutaan orang di seluruh dunia memperingati kematian pahlawan agung dan nilai-nilai yang diperjuangkannya. Dengan memperingati kematian Husain, kita memberikan pesan kepada dunia bahwa perjuangan kita dalam membela nilai kebenaran adalah sebuah ”Perjuangan Abadi”.

Rute Imam Husain dari Mekah ke Karbala

diterjemahkan dari Route of Imam Hussain (A.S) from Makkah to Karbala
(klik pada gambar untuk memperbesar)

Setelah meninggalkan Mekah, ada 14 tempat yang disebutkan dalam sejarah dimana Imam Husain pernah tinggal atau bertemu orang atau memberikan khutbah.
1. Saffah: Disini Imam bertemu dengan Farazzdaq, seorang penyair yang ditanyai oleh Imam tentang keadaan di Kufah. Dia berkata, ”Hati orang Kufah bersamamu tapi pedang mereka terhunus melawanmu.” Imam menjawab, ”Allah telah menakdirkan. Aku serahkan nasibku kepadaNya yang telah memberikan alasan yang benar (untuk pergi-penerj.)”
2. Dhat-el-Irq: Disini sepupu Imam, Abdullah bin Jafar membawa dua anak lelakinya Auwn dan Muhammad kepada ibunya Sayidah Zainab untuk membantu Imam. Dia membujuk Imam untuk kembali ke Madinah tetapi Imam menjawab, ”Nasibku di tangan Allah.”
3. Batn-er-Rumma: Imam mengirim surat ke Kufah dengan Qais bin Mashir, bertemu Abdullah bin Mutee yang datang dari Irak. Ketika mendengar tujuan Imam, dia mencoba untuk menghentikannya. Dia berkata bahwa orang Kufah tidak beriman dan tidak dapat dipercaya. Tapi Imam meneruskan perjalanannya.
4. Zurud: Imam bertemu Zuhair Ibnu Qain. Zuhair bukan termasuk pengikut Ahlulbait. Tapi ketika Imam memberitahukan tujuan perjalanannya Zuhair memberikan harta-bendanya kepada istrinya, menyuruhnya pulang dan berniat untuk menjadi syuhada bersama Imam.
5. Zabala: Imam mengetahui dari dua orang suku badui yang datang dari Kufah tentang kematian Muslim. Imam berkata, ”Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Indallah nahtasib anfusana.” (Kita berasal dari Allah dan kembali kepadaNya yang menjadi tujuan pengorbanan kita). Orang dari suku Asadi mencoba membujuk Imam, tapi dia bergeming. Disini Imam memberitahukan sahabatnya tentang kematian Muslim dan Hani dan bahwa orang Kufah tidak siap memberikan bantuan. Imam berkata,”Siapa yang ingin pergi, silahkan.” Kumpulan orang dari berbagai suku yang telah ikut dalam perjalanan dengan harapan mendapatkan pampasan perang menyadari harapan hampanya dan berpencar pulang. Hanya 50 orang yang tetap tinggal.
6. Batn-e-Aqiq: Imam bertemu seorang dari suku Akrama yang memberitahukan bahwa Kufah bukan lagi kota yang bersahabat dan telah dikepung tentara Yazid. Tidak ada orang yang dapat masuk dan keluar dari kota. Tapi Imam tetap berjalan terus.
7. Sorat: Imam bermalam disini dan pagi harinya memerintahkan sahabatnya untuk membawa air sebanyak mungkin.
8. Sharaf: Ketika Imam melewati tempat ini. Seorang sahabatnya meneriakkan bahwa dia telah melihat kedatangan sepasukan tentara. Imam meminta untuk cari tempat perlindungan, terutama disebuah gunung di belakang mereka. Seorang pengantar embawa mereka ke gunung terdekat.
9. Zuhasm: Disinilah Imam bertemu dengan pasukan Hurr yang terdiri dari 1000 orang. Mereka kehausan lalu Imam memerintahkan untuk memberikan air kepada mereka. Imam sendiri menolong beberapa tentara yang kehausaan untuk minum. Bahkan binatangpun diberi minum. Sholat Zuhur yang dipimpin Imam dan semua mengikutinya termasuk tentara Hurr. Disini Imam memberitahukan Hurr tentang surat-surat yang diterima dari Kufah. Dia berkata,”Wahai orang Kufah, engkau mengirim delegasimu dan menfirim surat memberitahukan bahwa engkau tidak punya pemimpin dan mengajakku datang kepadamu dan memimpinmu di jalan Allah. Kau menulis bahwa kami Ahlulbait lebih pantas untuk mengendalikan urusanmu daripada mereka yang meng-klaim tapi tidak berhak dan bertindak zalim dan batil. Tapi jika kamu mengubah putusanmu, mengabaikan hak kami dan melupakan janjimu. Aku akan kembali. Tapi dia dilarang kembali oleh pasukan Hur dan diarahkan untuk mengitari Kufah.
10. Baiza: Imam mencapai Baiza keesokan harinya dan memberikan khutbahnya yang terkenal. ”Wahai orang-orang, Nabi telah berkata bahwa jika seseorang menjumpai pemimpin yang tiran, menyeleweng dari jalan Allah dan Nabi dan menindas orang, tetapi tidak melakukan apa-apa lewat perkataan atau tindakan untuk merubahnya, maka keadilan Allah yang akan menghukumnya. Tidakkah kau melihat bagaimana rendahnya keadaanmu... Tidakkah kau perhatikan bahwa kebenaran tidak diikuti dan kebatilan (telah dilakukan-penerj) tanpa batas. Bagiku, aku mencari kematian sebagai jalan mencapai syuhada dan hidup diantara kesesatan tidaklah berarti apa-apa kecuali kesedihan dan penderitaan.
11. Uzaibul Hajanat: Disini Imam berpisah dengan pasukan Hurr dan bertemu Trimmah bin Adi. Setelah mengetahui Kufah telah menelantarkan utusannya, menjadi jelas baginya bahwa dia tidak punya harapan untuk mendapat bantuan atau bahkan kelangsungan hidup di Kufah. Walaupun begitu, dia menolak perlindungan, jika tidak pasti berguna. Trimmah menawarkan bantuan pasukan 20.000 orang terlatih dari sukunya untuk mengiringinya ke Kufah atau berlindung di pegunungan. Imam menjawab ke Ibnu Adi,”Allah memberkahimu dan orang-orangmu. Aku tidak bisa menarik kata-kataku. Semua telah ditakdirkan.” Dari jawaban ini adalah jelas bahwa dia mengerti penuh dengan situasi yang dihadapi dan bahwa dia telah memiliki strategi dan rencana di benaknya untuk mengadakan revolusi untuk membangkitkan kesadaran muslimin. Dia tidak mencoba memobilisasi pasukan militer dimana bisa dengan mudah dilakukannya di Hijaz ataupun dia tidak memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan kekuatan fisik yang ada.
12. Qasr-e-Bani Makatil: Disini terbukti bahwa Kufah bukanlah tujuannya. Karena Hurr tidak ingin meninggalkannya, dia mengitari Kufah dan mengambil rute baru. Dalam istirahatnya di siang hari, dia mengucap ”Inna Lillah” Anaknya yang berumur 18 tahun Ali Akbar mendekatinya dan bertanya. Imam menjawab bahwa dalam tidurnya dia mendengar seseorang berkata bahwa orang-orang ini akan menemui kematiannya. Ali Akbar bertanya, ”Bukankah kita di jalan yang benar.” Kematian tidak berarti baginya. Kematian dalam bentuk ini berarti kemenangan dalam kesyahidan.
13. Nainawa: Di tempat ini seorang utusan Ibnu Ziyad membawa pesan untuk tidak meninggalkan Imam. Kafilah melewati Ghaziriya menuju tempat yang disebut Karbala. Imam menanyakan tentang tempat ini. Seseorang memberitahu Karbala. Imam berkata, betul, inilah tempat Kerbin-wa-bala (tempat penderitaan dan penyiksaan). Mari kita berhenti disni karena kita telah tiba di tujuan. Ini adalah tempat kesyahidan. Inilah Karbala.
14. Karbala: Berdasarkan perintah Imam, tenda-tenda didirikan dekat dengan sungai yang menjadi cabang dari sungai Eufrat yang jaraknya beberapa mil. Hari ini bertanggal 2 Muharam tahun 61 Hijriah (3 Oktober 680 AD).

Peta menunjukkan rute yang diambil Imam Husain (as) ketika meninggalkan Mekah dengan tujuan Irak. Hari itu bertanggal 8 Zulhijah tahun 60 Hijriah (10 September 680 AD). Bersamanya ada 50 orang termasuk wanita dan laki-laki dari keluarganya dan sahabatnya. Pamannya Ibnu Abbas dan saudaranya Muhammad bin Hanafiyah tidak ikut bersamanya. Mereka memberikan kata perpisahan dan mencoba memperingatkan bahaya yang dihadapi Imam. Muhammad bin Hanafiyah memberitahukan bahwa orang Mekah dan para jamaah haji bertanya-tanya kenapa dia pergi satu hari sebelum hari raya Haji. Imam meninggalkan surat kepada saudaranya menerangkan maksudnya dengan jelas. Surat itu berkata:
”Aku tidak keluar untuk memprovokasi atau ingin menindas. Aku ingin membawa umat kembali ke jalan Amr bil Maruf wa Nahi Anil Munkar. Aku ingin mengajak mereka ke jalan dari kakekku dan ayahku Ali bin Abi Thalib.”

Monday, January 22, 2007

Peran Imam Husain Melestarikan Ajaran Islam

diterjemahkan dari postingan di : Imam Husain's Role in Reviving Islam


Siapapun yang mempelajari kehidupan Imam Husain bin Ali (as) akan menyadari bahwa perannya dalam Islam dimulai dari awal. Pada masa mudanya, dia berpartisipasi aktif dalam gerakan kebangkitan Islam. Perannya menonjol selama kepemimpinan ayahnya, Amirul Mukminin Imam Ali (as) dan berjuang berdampingan bersama Imam Hasan (as).

Dalam kesyahidannya, peran Imam Husain (as) memasuki fasa baru berkaitan dengan kompleksnya permasalahan diantara umat Islam, karena peran semua Imam Ahlul Bait (as) disesuaikan dengan kondisi perkembangan sosial, ideologi dan politik pada jamannya.

Sungguh, Imam Husain (as) menghadapi plot Bani Umayah yang menyimpang di tengah umat Islam dan juga kondisi sulit yang dijalani umat Islam. Dia (as) hidup dibagian paling berbahaya setelah perjanjian antara Muawiyah dan Imam Hasan (as). Berikut ini adalah tujuan-tujuan dari rencana busuk Muawiyah:

1. Menyebarkan teror dan memusnahkan seluruh kekuatan oposisi, terutama pengikut Imam Ali (as). Mereka diburu dan ditindas dengan berbagai cara dan teror digunakan untuk membungkam mereka.
Dengan kata-kata yang singkat dan jelas Imam Muhammad al-Baqir (as) menggambarkan tragedi berdarah ini. Dia berkata:
”Pengikut kita dibunuh di setiap kota. Tangan dan kaki mereka dipotong hanya karena kecurigaan kecil. Siapapun yang menunjukkan cinta (dukungan) kepada kita atau punya hubungan dengan kita akan ditawan atau disita harta-bendanya atau dirusak rumahnya. Frekwensi penindasan meningkat dan semakin kejam sampai puncaknya saat Ubaidullah bin Ziyad membunuh Imam Husain (as)”

Ibnu Athir, ahli sejarah, mencatat kejadian berdarah yang terjadi selama masa Muawiyah. Dia berkata: ”Setelah Ziyad mengangkat Sumrah, sementara waktu, sebagai gubernur Basrah, Sumrah membunuh banyak orang. Ibnu Sirrin berkata: ’Selama ketidakhadiran Ziyad, Sumrah membunuh delapan ribu orang.’ ’Apakah kau tidak khawatir telah membunuh orang yang tidak bersalah?’, Ziyad bertanya kepada Sumrah. ’Walaupun membunuh yang jumlah orangnya dua kali lipat saya tidak akan pernah merasa khawatir.’, jawab Sumrah.

Sawari Adwi berkata:”Sumrah telah membunuh, dalam satu hari, empatpuluh tujuh sahabatku. Semua adalah penghapal Quran.”

2. Menyebar uang untuk membeli kesetiaan orang-orang untuk merusak karakter Islami mereka dan membantu penyelewengan Muawiyah untuk memenuhi tujuan sesatnya. Dua tipe orang yang jadi sasaran :

A. Sejumlah pengkhotbah dan ahli hadis yang berperan untuk membantu Muawiyah. Mereka membuat hadis dan mengaku datang dari Rasulullah (saww) dalam rangka mendiskreditkan Imam Ali (as) dan keluarganya.
B. Pimpinan masyarakat yang punya kemungkinan untuk melawan dinasti Muawiyah.

Ini adalah bentuk kebijakan Muawiyah dan pemimpin dinasti Bani Umayah yang lain.

Perang kelaparan. Ini merupakan senjata yang dipergunakan Bani Umayah. Umat Islam merasa terhina dan tidak mampu mengganti pimpinannya. Perintah Muawiyah, yang dicatat sejarah, yang dikirim ke gubernurnya, menyatakan: ”Periksa setiap orang yang mencintai (mendukung) Ali dan keluarganya, dan jika terbukti, namanya harus dihapus dari daftar masyarakat yang menerima bayaran dan jatah makanan.”

Struktur ekonomi masyarakat selama periode tersebut tercatat oleh ahli sejarah. Mereka menulis tentang distribusi ekonomi yang timpang. Beberapa individu memiliki kekayaan besar. Segelintir orang memanfaatkan pengaruh Bani Umayah, dari bagian luar kekuasaan khalifah selama tahun-tahun terakhir kekuasaan khalifah yang benar, dengan menumpuk kekayaan. Sebagai contoh:
”Amru bin As gubernur Mesir dibawah Muawiyah, meninggalkan kekayaan sebanyak 325.000 dinar emas, 1000 dirham perak, kebun yang bernilai 2000.000 dinar di Mesir dan tanah milik di Mesir yang nilainya sebasar 10.000 dinar emas.”

4. Merusak ikatan persatuan umat Islam dengan mengangkat isu nasionalisme, kesukuan dan kedaerahan diantara kelompok-kelompok dan melestarikan sektarianisme antara muslim Arab dan non-Arab.

5. Pembunuhan Imam Hasan bin Ali (as), yang dianggap sebagai simbol Islam yang sebenarnya.

6. Mengangkat Yazid, seorang korup yang gemar mabuk dan berjudi, sebagai pimpinan baru menggantikan Muawiyah.

Mandat yang diberikan Yazid adalah untuk memimpin umat Islam, merencanakan dan melaksanakan program masa depan dan melaksanakan ajaran Islam. Pada kenyataannya menjadi perusak ajaran Islam.
Yazid, sebagaimana disaksikan oleh sejarah, pikiran, perbuatan dan perasaannya dipenuhi penyelewengan. Adalah mengherankan bahwa sejarah kita dipenuhi cerita-cerita tentang penyelewengan sehari-hari Yazid yang dilakukan di depan mata mayoritas umat Islam di Suriah. Dia menenggelamkan diri dalam kemaksiatan, hiburan sia-sia, bermabuk-mabukan, main perempuan dan bernyanyi. Dia begitu ceroboh dan bermoral rendah sehingga memakaikan perhiasan emas kepada anjing-anjingnya.

Ahli sejarah, Baladuri menyatakan:
”Yazid memiliki seekor monyet bernama Abi Qais... yang selalu dibawanya bersama rekan-rekannya ke tempat minum anggur. Dia menaruh bantal untuk tempat duduk monyetnya yang mana tindakan ini menjijikkan. Dia akan membawanya di atas seekor keledai betina liar yang telah jinak, dengan pelana kerajaan. Abi Qais ikut dalam kompetisi adu cepat dengan kuda pada hari-hari tertentu.”

Ahli sejarah yang lain, Ibnu Athir, berkata:
”Diriwayatkan bahwa Yazid terkenal dengan permainan alat musik bersenar, minum anggur, bernyanyi, berburu, dan berkumpul bersama anak-muda, penyanyi wanita dan anjing-anjing peliharaan. Dia suka menonton adu domba, beruang dan monyet. Tiada hari tanpa mabuk. Dia juga suka mengikat monyet di atas kuda dengan pelana dan berkeliling dengannya dan memakaikan topi emas dan semacamnya kepada monyetnya, dan juga anak-anak muda yang mengikutinya. Ketika seekor monyet mati, dia menunjukkan kedukaannya. Dikisahkan bahwa alasan kematiannya adalah karena seekor monyet muda menggigitnya.”

Jika seorang khalifah berkelakuan seperti ini, bagaimana dengan yang lainnya. Seorang ahli sejarah, Mas’udi, tentang ini menceritakan: ”Gubernurnya Yazid dan orang-orang pemerintahannya terpengaruh oleh tindakan korup Yazid. Selama pemerintahannya, hiburan nyanyian menyebar ke seluruh Madinah. Alat-alat musik dipergunakan. Orang-orang mulai minum anggur di depan umum.”

Sejak Muawiyah memutuskan mengangkat anaknya, Yazid sebagai khalifah umat Islam menggantikannya dimana ini bertentangan dengan ajaran Islam, keputusan ini membuat resah masyarakat, terutama tokoh tokoh yang dikenal masyarakat Islam. Sejarah Islam berada di persimpangan jalan. Di depan mereka ada dua pilihan:
Menolak dengan keras pola hidup yang ditawarkan, apapun resikonya, atau
Menerima kenyataan hidup dengan artian melepas ajaran-ajaran Islam, sumber kemuliannya dan simbol kehormatannya diantara bangsa-bangsa .

Perlawanan: Kenapa?

Jika kita mempelajari kehidupan Imam Husain dan peristiwa-peristiwa yang disaksikannya, dan lingkungan sekitarnya, kita akan dengan mudah mendapatkan bahwa dia tidak punya peluang sedikitpun untuk bisa mengatasi penindasan Bani Umayah.

Walaupun dia yakin akan terbunuh, dia tetap memulai perlawanannya dan bertahan sampai akhir yang tragis, yang tak dapat dihindari.

Kenapa dia bertahan ? Atau malah, kenapa dia melakukan perlawanan ?

Tanpa revolusi Imam Husain, jalan hidup Bani Umayah dengan semua penyelewengan, penindasan dan korupsi, akan menjadi lambang Islam di benak semua orang sampai saat ini.

Imam Husain, anak kedua Imam Ali (as), dan cucu nabi suci Muhammad (saww), adalah halaman jernih buku Islam, dan penerjemahan yang jelas dari tujuan dan konsep Islam. Ini yang menyababkan dia jadi orang pertama menanggapi panggilan keimanan di masa dia hidup. Untuk menghormati komitmennya kepada Syariah, dia tidak punya pilihan lain daripada perlawanan. Tanpa itu tidak akan ada reformasi perbaikan kehidupan. Surat resminya yang pertama dari perlawanannya menunjukkan kenyataan ini:
”Dan aku tidak mengangkat senjata demi kesenangan belaka atau bertindak berlebihan dengan apa yang aku miliki. Aku tidak melakukan kejahatan ataupun penindasan. Tetapi aku bersedia bertempur untuk satu alasan yaitu memperjuangkan perbaikan umat kakekku, Nabi Allah (saww). Aku ingin menyerukan kebaikan dan melarang kejahatan dan mengarahkan urusan masyarakat seperti yang telah dilakukan kakekku dan ayahku Ali bin Abi Thalib (as).”

Ini adalah dasar justifikasi yang memberikan Imam Husain (as) dan pengikutnya alasan untuk memulai perlawanan. Sebuah perlawanan yang masih menggema di benak orang saat ini. Itu adalah sebuah revolusi yang melestarikan Islam dan menginspirasi pelaku revolusi sepanjang masa, untuk mempertahankan Islam dan bertempur dengan penuh semangat kepahlawanan dalam perang jihad suci melawan penindasan yang tidak adil.

Angin Perlawanan

Tak lama setelah kematian Muawiyah, anaknya, Yazid, mengambil alih. Dia memerintahkan gubernur-gubernurnya untuk membaiat rakyatnya mendukung kepemimpinannya. Dia terutama menaruh perhatian kepada Imam Husain (as), karena keyakinan Bani Umayah bahwa dia adalah kekuatan perlawanan yang tak tergoyahkan diantara pihak oposisi. Pihak oposisi, minus Imam Husain, dengan gampang ditundukkan. Dengan cepat dia menulis surat kepada gubernurnya di Madinah, Walid bin Utba untuk membaiat rakyatnya, khususnya Imam Husain (as). Sungguh, Imam Husain menjelaskan penolakannya untuk membaiat Yazid. Dia berkata kepada gubernur Madinah, Walid bin Utba: ”Yazid adalah seorang yang korup, yang suka menenggak anggur, membunuh jiwa yang dilarang oleh Allah dan menunjukkan kemaksiatannya di depan umum. Seorang laki-laki sepertiku tidak akan membaiat orang seperti Yazid.”

Dalam jawabannya, Imam Husain menjelaskan kualifikasi pemimpin yang harus dibaiat, dalam suratnya kepada penduduk Kufah:” Demi hidupku, apakah fungsi seorang Imam kecuali yang berhakim kepada Kitabullah; seorang yang menegakkan keadilan, seorang yang memegang agama kebenaran, dan seorang yang mendedikasikan hidupnya kepada Allah.”

Itulah titik awal perlawanannya terjadap penyelewengan dan penindasan. Imam Husain (as) memutuskan untuk mengambil tanggungjawab perlawanan terhadap penindas, karena dia merupakan Imam yang sah dan benar dengan keimanan.

Dia pergi ke makam Rasulullah (saww), kakeknya dan berdoa disampingnya. Lalu dia mengangkat tangannya dan berdoa:
”Ya Allah! Ini adalah makam RasulMu Muhammad (saww) dan aku adalah anak dari anak perempuannya. Engkau tahu apa yang sedang kuhadapi. Ya Allah! Aku mencintai kebaikan dan membenci kejahatan. Aku memohon kepadaMu, wahai Tuhan yang Maha Mulia, dan meminta demi kuburan ini dan isinya, untuk menentukan jalan hidupku aku dengan apapun yang Kau dan nabiMu ridhai.”

Imam Husain cepat-cepat mengumpulkan anggota keluarganya dan sahabatnya yang setia. Dia memberitahukan keputusannya untuk pindah ke Mekah, rumah Allah. Orang yang tidak setuju dengannya semakin banyak. Mereka memintanya untuk menyerah. Mereka tidak berdaya dan khawatir akan dibunuh.

Imam Husain juga mempertimbangkan untuk mundur.

Rombongan kafilah Imam Husain (as) berjalan menuju Mekah. Nama Allah terucap dibibirnya, dan hatinya penuh dengan cinta kepada Allah. Ketika memasuki Mekah, dia menyitir kata-kata berikut: ”Dan ketika dia memalingkan wajahnya kearah Madain, dia berkata: Mungkin Tuhan akan memberi petunjuk ke jalan yang benar.”

Dia berdiam di rumah Abbas bin Abdul Muthalib. Kelompok besar orang-orang beriman berkumpul untuk menerima kedatangannya. Berita tentang kepergian Imam dari Madinah dan penolakannya membaiat Yazid telah menyebar. Lalu, berbagai delegasi dan surat dukungan kepadanya mulai berdatangan dari berbagai pelosok. Sebagai jawaban, dia (as) mulai mengirim buku-buku dan surat-surat yang berisi panggilan untuk revolusi dan menurunkan Yazid dari kekuasaan, yang mendapatkan dukungan lewat paksaan, teror, penyuapan dan penipuan. Usaha ini membuahkan hasil dengan bangkitnya semangat revolusi di Irak. Imam Husain (as) memantau reaksi dari umat Islam terhadap Yazid yang menduduki posisi khalifah. Kufah, ibukota Irak, sedang menyaksikan gerakan revolusi dan goncangan politik yang besar. Setelah lama dalam kondidi teror dan penindasan kekuatan oposisi melihat kesempatan emas untuk melepaskan diri dari kekuasaan tirani. Mereka mengadakan pertemuan-pertemuan darurat membahas naiknya ketegangan di Kufah dan tanggungjawab mereka menghadapi perubahan pemerintahan, setelah Yazid bin Muawiyah mengambil-alih urusan umat Islam.

Setelah mencapai kesepakatan, tokoh-tokoh Kufah menulis surat yang menyatakan penolakan mereka terhadap kekuasaan Bani Umayah dan dukungan terhadap Imam Husain (as). Surat-surat berdatangan di Kufah membawa pesan kepada orang Kufah untuk bergabung kepada Imam Husain (as), menjadikannya khalifah dan pemimpin umat Islam. Gelombang dukungan kepada Imam Husain (as) begitu besar sehingga banyak suku-suku menyiapkan tentara yang jumlahnya mencapai 100.000 pasukan. Imam Husain mengirim surat-surat khusus kepada rakyat disana dan terutama kepada pimpinan-pimpinan masyarakat.

Kufah menerima kedatangan Muslim bin Aqil dengan penuh kesetiaan dan tanggungjawab. Baiat diberikan kepada Imam Husain. Muslim, sampai titik ini, yakin kecenderungan sedang mengarah kepada Ahlul Bait (as) dan pesan Allah Taala. Apa yang sedang terjadi bukanlah hal yang biasa dan tidak bisa diabaikan. Ini adalah tujuan yang benar, bisa dicapai dan telah menyebar luas. Mereka harus bertindak cepat memanfaatkan situasi sebelum sesuatu terjadi dan merusak kesempatan yang ada. Muslim (ra) kemudian untuk memberitahu Imam Husain (as) tentang kecenderungan yang nyata. Dalam suratnya dia mengundang Imam untuk datang ke Kufah. Dia menulis:
”Sudah menjadi kepastian bahwa orang yang dikirim kafilah di gurun untuk melihat kondisi di depannya tidak akan berdusta kepada orang yang mengirimnya. Semua orang di Kufah bersama engkau. Delapan-belas ribu orang dari mereka telah memberi baiat kepadaku. Cepat-cepatlah datang kepada kami setelah membaca suratku ini. Salam dan berkah Allah selalu bersamamu.”

Sementara itu, Imam Husain (as) mempertimbangkan untuk menghubungi tokoh-tokoh Basrah dan membahas keputusannya untuk melawan penyimpangan dan ketidakadilan. Dia mengirim surat kepada mereka. Yazid bin Mas’ud mengirim surat yang menyatakan kesetiaan orang-orang dari suku Tamim dan Bani Sad kepada Ahlul Bait (as). Sangat disayangkan dan menyedihkan bahwa suratnya terlambat tiba. Lalu, pasukan Nashali tiba terlambat. Mereka terkejut dengan berita kesyahidan Imam Husain. Telah hilang kesempatannya untuk membantu cucu nabi Muhammad (saww).

Berbaliknya orang-orang Kufah.

Awalnya, orang-orang Bani Umayah menjadi panik ketika melihat kesuksesan orang-orang beriman dan wakilnya, Imam Husain bin Ali (as). Pimpinan tertinggi Bani Umayah membuat pertemuan-pertemuan yang membahas langkah mereka berikutnya. Mereka memutuskan untuk memberikan Yazid kabar terakhir dan situasi nyata di kota Mekah. Mereka menulis surat kepada kepalanya di Suriah memberitahukan perkembangan terakhir di Kufah.

Yazid terkejut dengan berita tersebut. Penasihat khususnya menyarankan untuk mengangkat Ubaidullah bin Ziyad sebagai gubernur Kufah. Ibnu Ziyad adalah seorang pembunuh, kekosongan jiwanya dari rasa kemanusiaan dan kegelaman hatinya kepada keluarga Rasulullah (saww) menjadikannya calon yang tepat. Ibnu Ziyad menerima surat pengangkatan Yazid sebagai gubernur baru di Kufah. Dia mengangkat saudaranya menggantikannya di Basrah, dan secepatnya pergi ke Kufah dengan membawa 500 divisi pasukan dari tentara Bani Umayah.
Beberapa pimpinan di Basrah ikut menemaninya, mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang-orang Kufah.

D Kufah, Ibnu Ziyad mengumpulkan orang-orang dan memberikan mereka arahan. Dia berjanji kepada mereka yang mendukung Bani Umayah akan mendapatkan hadiah yang menggiurkan. Dia mengancam lawan Bani Umayah dengan hukuman berat, misalnya kematian. Dibawah ancaman, dia memerintahkan para kepala suku untuk menyerahkan daftar orang-orang yang melanggar aturan Bani Umayah. Jika tidak, mereka sendiri akan dibantai di depan pintu rumah-rumah mereka.

Kemudian, atmosfir kegelapan merebak di seantero kota. Pertunjukan kekuasaan dari Bani Umayah, yang diwakili oleh Yazid, terjadi.Pimpinan kaum Syiah dan pendukung gerakan Islam yang diwakili Imam Husain terkurung.

Ketakutan mengibaskan sayapnya dan keputus-asaan memenuhi hati orang-orang. Peristiwa-peristiwa keji membuat suku-suku melindungi pimpinannya melawan Bani Umayah dengan berbagai bentuk. Ibu-ibu mengunci anak-anaknya karena khawatir akan membantu Muslim bin Aqil. Mereka yang mengejar kekayaan dengan cepat datang ke istana gubernur, bergembira dengan uang yang melimpah yang ditaburkan. Secara praktis, masyarakat Kufah menjadi kacau-balau. Pendukung-pendukung panggilan Islam, yang masih bebas, melakukan kontak secara rahasia dengan Muslim. Dia yang memerintahkan hal itu, dibawah tekanan yang baru timbul.

Mata-mata Bani Umayah dengan cepat menyebar teror ke seantero kota dan Ibnu Ziyad memakai segala cara penipuan untuk keluar dari krisis. Dia menebar gosip-gosip, lewat mata-matanya dan pengikutnya, bahwa pasukan besar Bani Umayah sedang menuju Kufah. Gosip menyebar dengan cepat. Gosip merebak dan teror berkuasa. Para wanita menghalangi anak-anaknya bergabung dengan Muslim, dan mereka yang sudah, dipaksa mundur. Para ayah menahan anak-anaknya dan saudara-saudara lelakinya mengambil bagian dalam aksi militer.

Situasi terus memburuk. Banyak orang meninggalkan pasukan Muslim, dan kepanikan terjadi. Pemaksaan dan penghalangan kepada perlawanan sukses dilakukan. Muslim, pada kenyataannya, tinggal hanya dengan sedikit pendukung setia yang melakukan pertempuran-pertempuran jalanan melawan Bani Umayah. Mereka membuat basis pertahanan di daerah lingkungan Kinda. Muslim bertempur dengan lemah dan kurang semangat.

Setelah semua terbunuh atau yang lain menelantarkannya, Muslim bertempur melawan tentara Bani Umayah sendirian. Akhirnya dia terpojok dan ditawarkan perlindungan. Ketika dibawa menghadap Ibnu Ziyad dia menolak menghormati perjanjian perlindungan dan memerintahkan Muslim untuk dieksekusi. Setelah memberikan wasiat terakhirnya, Muslim dibawa ke atas istana dan dilempar ke bawah. Kemudian dia dipenggal. Kepalanya, bersama kepala Hani dikirim ke Yazid di Suriah.

Lalu, dua pilar tokoh pergerakan Islam di Kufah dibantai. Pergerakan Muslim dan Hani, dua dari pahlawan padang pertempuran di Irak. Kufah dipermalukan dengan kekalahannya dan teror meluas. Tirani menguasai kehidupan rakyat.

Jalan ke Irak

Bani Umayah khawatir dengan berita kesuksesan Imam Husain di Mekah. Dia memenangkan hampir seluruh kota. Didasari rasa takut akan penyebaran kekuatan oposisi, Yazid mengirim tentara dari Suriah. Dia mengangkat Umar bin Said sebagai panglimanya.

Imam Husain (as) menerima kabar bahwa tentara Bani Umayah sedang menuju Mekah. Mengetahui tidak adanya penghormatan dari Bani Umayah kepada Rumah Suci Allah, dia memutuskan untuk meninggalkan kota. Tidaklah mungkin baginya untuk membiarkan kesucian kota dikotori karena dirinya. Dengan sadar, dia mengetahui nasib yang tak terelakkan di Irak. Dia menyatakannya dalam khotbahnya yang disampaikan di Mekah sebelum pergi. Dia berkata:
”Segala puji bagi Allah. Apa yang Allah kehendaki akan terjadi. Tidak ada kekuatan kecuali dari Allah. Salawat Allah kepada rasul-Nya. Kematian telah ditentukan pada setiap orang, sebagaimana kalung yang melingkar pada leher seorang anak perempuan. Bagaimana besarnya keinginanku untuk melihat penerusku. Sekuat keinginan Yakub (as)
untuk melihat anaknya Yusuf (as). Adalah lebih baik bagiku menemui kematian. Sebagaimana aku melihat anggota tubuhku dirobek-robek oleh serigala gurun, diantara Nawawis dan Karbala. Mereka akan memenuhi perut kosong dan kelaparan mereka. Tidak ada pelarian dari hari yang telah ditentukan Pena Ilahi.”

Pada hari kedelapan bulan Zulhijah (hari para jemaah haji melakukan ritual haji), di tahun 60 Hijriah, kafilah Imam Husain berangkat.

Sepanjang jalan ke Irak dia bertanya kepada musafir yang ditemuinya tentang keadaan Irak terakhir. Jawaban yang didapat hanya: ”Orang disana bersama Bani Umayah, tapi hati mereka bersamanya (Imam Husain) !”
Dia telah pasti bahwa keimanan akan lestari setelah kematiannya dan tidak ada yang mempertahankan keimanan kecuali dia. Karena hal inilah dia berjalan terus untuk mencapai kemenangan bersejarah yang nyata. Hanya dengan menumpahkan darahnya dan mengorbankan jiwanya dan orang yang bersamanya dari keturunan Rasulullah, Islam akan lestari.

Di Karbala

Hari itu hari Kamis, hari kedua Muharam tahun 61 Hijriah. Imam Husain, sahabat dan keluarganya berhenti dan berkemah di gurun Karbala untuk menjadi simbol kebebasan manusia dan slogan revolusi yang abadi sepanjang masa dan generasi selanjutnya.

Di pihak lain, tentara Bani Umayah, yang diwakili Ubaidullah bin Ziyad di Kufah, mulai mengumpulkan pasukan dan memobilisasinya ke Karbala. Ibnu Ziyad mengangkat Umar bin Sad sebagai panglima baru tentara tersebut. Umar menyerah kepada keinginan Ubaidullah ketika diancam kedudukan atas kekuasaannya di Ray. Umar berjuang dengan dua pertanyaan: Penyerahan diri kepada kehidupan dunia atau menolak keinginan duniawi dan menghindari pertempuran dengan Imam Husain. Akhirnya pertanyaan pertama yang menang dan dia memutuskan untuk mengambil peranan dalam pertempuran melawannya (Imam Husain).

Dia menunjukan perjuangannya dengan dua baris kalimat:
”Bisakah aku menolak jabatan gubernur di Ray, dimana itu merupakan ketakutanku, atau haruskan aku menerima tuduhan pembunuhan atas Husain? Haruskan aku membunuhnya, ketika aku berakhir dalam api, tanpa hijab, ketika jabatan gubernur di Ray akan menyejukkan mataku.”
Umar tidak lain adalah model dari orang-orang yang memerangi Imam Husain (as), dan mempunyai niat busuk dan tujuan keji.

Lalu dia memutuskan untuk menjalankan tugasnya dan bergerak menuju Nainawa (Karbala) memimpin pasukan dengan 4000 jumlah tentara. Saat kedatangannya, Umar bin Sad mengurung perkemahan Husain. Imam Husain (as) mulai bernegoisasi dengannya, melakukan berbagai pertemuan. Hasilnya, dia menulis kepada Ubaidullah bin Ziyad menyarankannya untuk melepaskan kurungannya terhadap perkemahan Husain, dan membiarkannya kembali ke arah tempat dia datang, lalu, menghindari pertumpahan darah yang akan terjadi. Ubaidullah menerima suratnya. Bahkan awalnya dia menghargai usulannya dan menginginkan untuk langsung menjalankannya. Tapi kemudian, Shimr bin Dil-Jawshan, seorang musuh berdarah dari Ahlul Bait (as), memperingatkan akan konsekwensinya. Ubaidullah menerima saran Shimr dan memberikan suran ancaman untuk dikirimkan kepada Umar bin Sad. Sebagian isi surat:
”Jadi, lihatlah jika Husain dan pengikutnya tunduk pada kekuasaanku dan menyerah, kirim mereka padaku dalam keadaan selamat. Jika mereka menolak, lalu serang dan perangi mereka dan hukum mereka, karena mereka pantas mendapatkannya. Jika Husain terbunuh, biarkan kuda menginjak-injak mayatnya, di bagian depan dan belakang.”

Lalu, logika Ibnu Ziyad memaksanya untuk menumpahkan darah dan memotong-motong mayat para syuhada seperti yang dilakukan nenek moyangnya kaum Quraisy pada jaman jahiliyah, yang memotong-motong mayat Hamzah, paman Nabi, pada masa sebelumnya. Tidak ada pilihan lain selain perang. Husain (as) biar bagaimanapun tidak akan menyerah kepada Ibnu Ziyad:
”Seorang sepertiku tidak akan pernah membaiat Yazid.”
Dia meneruskan: ”Aku tidak menginginkan kematianku kecuali dalam keadaan syahid, karena hidup dalam ketidakadilan tidak dapat kujalani.”

Dia (as) menyitir kata-kata Rasulullah (saww), yang disampaikannya kepada tentara Bani Umayah beberapa hari sebelumnya. Dia memberitahukan mereka:
”Wahai orang-orang, Rasulullah telah berkata: ’Siapa yang menyaksikan pemimpin tidak adil yang melanggar larangan Allah yang Maha Besar, memperlakukan pelayannya dengan penuh dosa dan keji dan telah melihat semua kejahatan ini tapi tidak melawan dengan perkataan maupun perbuatan, Allah akan menghukumnya.”

Imam Husain (as) melihat bahwa dia tidak bisa bernegoisasi dengan kelompok orang lemah semangat yang mendedikasikan dirinya untuk mendapatkan harta sitaan dan kekayaan. Dia meminta saudaranya, Abbas, sekali lagi untuk berbicara dengan tentara dan meminta penundaan satu malam. Umar bin Sad dan perwiranya setuju dengan penangguhan ini. Keesokannya, sejarah membuka halaman baru dalam kehidupan Islam. Laki-laki akan saling bertempur dalam pertempuran agung di Karbala.

Malam Asyura

Bukanlah karena strategi militer Husain meminta penangguhan. Jalan kedepan terlihat jelas di benaknya, tapi Husain meminta penangguhan untuk melakukan ibadah malam itu. Dia menginginkan pada malam terakhir untuk bisa berbicara dengan keluarga dan sahabatnya, orang-orang yang dicintainya. Dia tahu apa yang akan terjadi. Lalu dia meminta saudaranya Abbas, kedua kalinya menghadap Ibnu Sad:
”Kembali ke mereka. Jika kamu bisa menangguhkan sampai pagi dan membujuk mereka untuk menjauhi kita selama malam hari, mungkin kita bisa beribadah kepada Tuhan selama malam hari, untuk berdoa dengan intim kepadaNya, membaca ayat-ayatNya, memohon dengan berpanjang-panjang dan meminta ampunanNya.”
Gelap datang. Keluarga Nabi (saww) dan pendukungnya tidak memejamkan mata. Beberapa dari mereka beribadah, memohon kemurahan Allah dan membaca Quran. Beberapa yang lainnya menyiapkan wasiat dan kata terakhir kepada keluarganya. Suara-suara dengungan seperti lebah. Mereka menyiapkan diri mereka untuk bertemu Tuhan mereka. Pedang dan tombak dipersiapkan. Malam itu mereka menjadi tamu tanah Karbala. Sejarah menanti peristiwa yang akan terjadi keesokan paginya. Pedang dan tombak menjadi pena yang menuliskan bagian teragung dari drama yang ditulis manusia.

Selama malam itu, Husain (as) mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya dan orang-orang yang dicintainya. Dia mengunjungi Al-Sajjad, Sukaina, Layla, Rabab dan Al-Baqir-Al-Saghir (as) kemenakannya. Dia membuat wasiat terakhir, sebagaimana dia memutuskan untuk menyirami kebun Islam dengan darahnya sendiri.

Hari Asyura

Imam Husain (as) bersama dengan sahabatnya yang soleh, melewati malam sebelum hari kesepuluh Muharah dengan ibadah, berdoa dan bersiap untuk keesokan harinya. Malam berakhir. Terasa seperti sejarah yang panjang telah lewat. Hari kesepuluh Muharam, hari berdarah, jihad dan syuhada, hari keputusan perang, telah lahir.

Umar bin Sad mengatur barisan tempurnya, dan memobilisasi tentaranya untuk memerangi anggota kelima dari keluarga suci Nabi Muhammad, yang cintanya kepada umat dinyatakan Allah lewat kalimat-kalimat jelas di dalam Quran.

Imam Husain keluar dari kemahnya bersiap penuh menghadapi musuh. Perang tak terelakkan. Jadi, dia mulai memperkuat perkemahannya dimana wanita dan anak-anak menanti kejadian berikutnya.Dia memerintahkan untuk menggali lobang di belakang perkemahan. Ini untuk menghindari serangan dari belakang. Dia membuat api di lobang tersebut. Dengan amannya daerah belakang, pertempuran akan terjadi hanya di daerah depan.

Sekali lagi, Imam Husain (as) memberikan khotbah. Dia mengingatkan orang-orang Kufah kepada surat-suratnya dan utusannya, dan janji setia mereka tapi tidak membawa hasil. Dia menghadapi telinga-telinga yang tuli.

Dia menaiki kudanya, dan melarikan kudanya ke depan musuh yang berbahaya, dengan tangannya memegang Quran. Dia membukanya, mengangkat di atas tangannya dan berkata:
”Wahai orang-orang ! Mari kita berpegang pada Kitabullah dan Sunnah kakekku, Rasulullah (saww) untuk memutuskan urusan diantara kita.”
Tidak ada yang terpengaruh dengan kata-kata Imam Husain (as).
Malahan, Umar bin Sad memerintahkan pasukannya untuk maju dan memulai pertempuran. Dia sendiri, melepaskan anakpanahnya kearah perkemahan Imam Husain sambil berteriak:
”Semua menyaksikan bahwa aku orang pertama yang menyerang.”
Imam Husain menatap tanpa goyah dan penuh tekad menghadapi pasukan besar yang penuh perlengkapan. Seperti sedang menaiki bukit, penuh kepastian dan tak tergoyahkan, Imam Husain tak menunjukan sedikitpun kegentaran. Tidak pernah terpikir untuk mempertimbangkan kembali keputusannya. Tidak ada yang dituju kecuali Allah. Dia mengangkat tangannya berdoa:
”Ya Allah ! Hanya Engkau yang kupercayai didalam kesedihan. Engkau adalah harapanku ditengah kekejaman. Engkau tempat berlindung dari semua peristiwa yang kualami. Berapa banyak kesedihan yang melemahkan semangat, meninggalkan aku sendiri untuk menghadapinya, dengan kawan-kawan yang menelantarkanku, dan musuh yang bergembira atasnya. Aku mempersembahkan kepadaMu dan mengeluhkannya kepadaMu, karena keinginanku kepadaMu, hanya Engkau. Engkau membebaskan aku dan menghapuskan daripadanya. Engkau adalah yang Maha Penyayang diantara yang penyayang, pemilik semua kebaikan dan Tujuan Utama dari semua keinginan.”

Itu adalah merupakan gambaran dari malapetaka dan tragedi yang mengorbankan keturunan kenabian dan pemimpin umat Islam, cucu dari Rasulullah (saww) yang mulia, Husain bin Ali bin Abu Thalib.

Orng-orang saling bertempur, mulanya pertempuran satu lawan satu, kemudian pertempuran penuh. Adalah alami kekuatan tentara Yazid bin Muawiyah bisa membantai kelompok kecil pejuang yang jumlahnya tidak lebih dari 72 orang.

Keseluruhan tragedi Ahlul Bait (as) dan penderitaan hebat mereka di tangan musuh mereka ditunjukkan dengan sangat jelas dalam perang Karbala.

Perang terus berlanjut di Karbala. Penumpahan darah mulia terus mengalir, berjalan menuju keabadian. Sahabat-sahabat Imam Husain (as) roboh ke tanah, satu demi satu. Para pahlawan yang hebat dari keluarga Aqil dan dari keluarga Ali bin Abu Thalib (as) sekarang menjadi mayat-mayat dengan kepala terpotong, berserakan di dataran perang seperti bintang-bintang di langit musim gugur, atau seperti bunga lotus di atas permukaan kolam.

Sekarang serangan lebih intensif. Mereka hampir terkurung oleh tentara Bani Umayah. Beberapa tentara pergi ke perkemahan mencari barang berharga. Ibnu Sad memerintahkan: ”Bakar semua kemah.” Anak-anak menangis dan wanita juga bersedih, saat melihat tenda-tenda terbakar. Imam Husain (as) berdiri diantara mereka, bergabung dengan mereka tapi tersentuh dengan tangisan anak-anak dan ratapan para wanita. Dia mencari bantuan. Dia berteriak:
”Apakan ada yang mau melindungi wanita dari keluarga Rasulullah ? Apakah ada orang yang bertauhid yang takut kepada Allah dan menolong kami ? Adakah pendukung yang mencari balasan dari Allah dan membantu kami ?

Tidak ada jawaban kecuali ratapan wanita dan tangisan anak-anak. Imam Husain (as) tidak punya pilihan lain kecuali memerangi musuh. Hatinya dipenuhi kasih-sayang kebapakan dan kekhawatiran kepada keluarganya, kesucian, kesucian para Penolong (kaum Ansar) dan anak yatim dari para syuhada.

Dengan kepastian bahwa dia (as) tidak akan kembali selamat dari medan pertempuran, dia pergi mengunjungi tenda saudara perempuannya Zainab, memintanya untuk membawa anak bayinya untuk mencium bibirnya dan melihatnya untuk saat terakhir.
Imam Husain (as) mengulangi kalimat berikut:
”Ya Allah ! Aku mengeluh kepadamu tentang apa yang telah dilakukan kepada anak laki-laki dari anak perempuan Nabi”.

Dia (as) melihat sekeliling dan menyadari bahwa tidak ada yang membantunya. Sahabatnya telah berserakan menjadi mayat disekitarnya, mereka telah memenuhi tugasnya menegakkan kalimat. Imam Husain sendirian. Dia membawa pedang Rasulullah di tangannya dan semangat dari Ali (as) di kedalaman hatinya. Di lidahnya terdapat kata-kata penuh kesalehan. Ini adalah harinya yang dijanjikan Rasulullah (saww) dan tempat yang diberitahukan yang menjadi kediaman terakhirnya. Dia menantang musuhnya bertempur satu lawan satu. Satu demi satu mereka datang dan dikirim ke dunia lain.

Imam Husain (as) masih khawatir dengan perkemahannya, yang terus terbakar. Saat pasukan Ibnu Sad memotong jalannya ke perkemahan, dia menantang pasukan Bani Umayah: ”Aku bertempur melawanmu. Wanita tidak terlibat. Aku akan melindungi wanita keluargaku dari kejahatanmu selama aku masih hidup.”

Telinga dan hati mereka yang keji adalah mereka yang tuli dari perkataan anak laki-laki dari anak perempuan Rasulullah, Shimr bin Dil Jawshan dengan sepuluh orangnya maju kearah perkemahan keluarga Imam Husain (as), dan dia berteriak kepada mereka:
”Celaka kau. Jika kamu tidak punya keimanan dan tidak takut akan hari kiamat, berbuatlah sekehendakmu (di dunia), dan menjauhlah dari kemuliaan, dan dari milikku dan keluargaku dari tiranimu dan kebodohanmu.”

Serangan berlanjut dengan kejam, ketika Imam Husain (as) berdebat dengan mereka, sampai sebuah anak panah diarahkan ke Imam Husain (as) dan menancap di tenggorokannya. Tombak dan pedang memakan tubuhnya. Dia menjadi lemah karena darah yang melimpah keluar ketika tubuhnya menjadi metafor dari sebuah buku, yang mana setiap tancapan pedang dan panah menuliskan baris-baris agung dari kisah kepahlawanan.

Ada enampuluh-tujuh luka yang dengan diam-diam menuturkan kisah perjuangan dan jihad dan abadi menyuratkan bab-bab tragis dari penindasan dan ketidakadilan.

Musuh masih belum puas. Shimr mendekati Imam Husain (as) membawa pedangnya dan menebasnya beberapa kali, kemudian dia memenggal kepalanya. Dia membawa kepala itu dengan penuh kebanggaan untuk dipersembahkan kepada Ibnu Ziyad untuk mendapatkan hadiah.

Kepala yang tidak pernah berkata ”Ya” kepada penindas, yang selalu mengulangi:
”Demi Allah ! Tidak akan pernah memberikan tanganku kepadamu seperti orang terhina, ataupu tidak akan pernah melarikan diri seperti budak.”

Ibnu Sad memerintahkan penunggang kuda untuk menginjak-injakkan kaki kuda mereka diatas mayat suci Imam Husain (as). Kepala Imam Husain (as), bersama kepala sahabatnya yang lain (bahkan kepala bayi Ali Ashgar) diberikan kepada kriminal-kriminal, sebagai hadiah, dan membawanya kepada gubernur Bani Umayah di Kufah.

Selama tiga hari, mayat mayat suci dari syuhada dibiarkan terbaring di gurun Karbala sebelum orang-orang suku Bani Asad, yang tinggal didekat medan perang tersebut menguburkannya. Para kriminal, masih belum puas dengan semua ini, menawan dan membawa wanita dan anak-anak, termasuk anak Imam Husain (as) yang sedang sakit, Imam Zainal Abidin dari Kufah ke Suriah. Dibagian depan dari rombongan prosesi kesedihan ini, kepala-kepala Imam Husain dan pengikutnya.

Tuesday, January 16, 2007

Tentang Abdullah Yusuf Ali

Penulis tidak lain adalah cendikiawan Sunni terkenal yang menerjemahkan dan komentator Al-Quran, yang wafat pada tahun 1952 di Inggris. Hasil penerjemahan dan komentar Al-Qurannya telah menjadi sangat populer di dunia Barat dan Timur, dimana bahasa Inggris dipakai dan dipahami.

Imam Husain dan Kesyahidannya

Oleh
Abdullah Yusuf Ali


diterjemahkan dari teks bahasa inggris yang didapat dari al-islam.org, berjudul Imam Husain And His Martyrdom

Prakata

Halaman-halaman berikut adalah catatan dari pidato yang saya sampaikan di London pada Majlis Ashura pada hari Kamis 28 Mei, 1931 (Muharram 1350 H), di Hotel Waldorf. Catatan tersebut telah dikoreksi seperlunya dan sedikit diperluas. Majlis tersebut merupakan perayaan besar, yang dihadiri atas undangan dari Mr A.S M. Anik. Nawab Sir Umar Hayat Khan, Tiwana, para ketua dan anggota semua kelompok mazhab Islam, juga yang bukan Muslim, datang dengan penuh antusias dalam rangka menghormati peringatan Syuhada Agung Islam. Dengan menerbitkan dalam seri edaran Progressive Islam, diharapkan catatan ini bisa menjangkau publik yang lebih luas, tidak hanya para hadirin. Diharapkan juga, ini akan membantu memperkuat ikatan persaudaraan yang mempersatukan semua yang menginginkan persaudaraan sejati yang dianjurkan oleh Nabi pada khutbah terakhir beliau.

A Yusuf Ali.



Imam Husain dan Kesyahidannya

Kesedihan sebagai ikatan persatuan

Saya akan berbicara pada siang hari ini tentang topik yang sangat serius, kesyahidan Imam Husain di Karbala, yang sedang kita rayakan sekarang ini. Sebagaimana ketua majlis telah ungkapkan dengan tepat, peristiwa itu merupakan salah satu saat yang menakjubkan dalam sejarah agama kita, yang disepakati semua mazhab. Lebih dari itu, di ruangan ini saya mendapatkan kehormatan untuk berbicara kepada beberapa orang dari agama yang berbeda, tetapi saya memberanikan diri untuk berfikir bahwa pandangan yang akan saya kedepankan hari ini mungkin akan membuat mereka tertarik dari kepentingan aspek sejarah, moral dan spiritual. Sungguh, ketika kita melihat latar belakang dari tragedi besar tersebut dan semua yang terjadi pada 1289 tahun komariah yang lewat, kita tidak bisa memungkiri bahwa beberapa peristiwa menyedihkan dan kematian adalah hal-hal yang bisa membawa, atau mengarahkan kita kepada persatuan kemanusiaan.

Bagaimana kesyahidan menyembuhkan perpecahan

Ketika kita mengundang orang tak dikenal atau tamu dan menerima mereka sebagai bagian dari keluarga, itu berarti menunjukkan besarnya keramahan kita kepada mereka. Peristiwa yang akan saya jelaskan merujuk kepada beberapa peristiwa yang menyentuh perasaan dalam aspek spiritual dari sejarah kita . Kita meminta saudara kita dari agama lain untuk hadir dan berbagi pemikiran yang terungkap dari peristiwa tersebut. Sesungguhnya, semua pemerhati sejarah mengakui bahwa horor yang terjadi pada peristiwa besar Karbala bahkan lebih bisa, dibanding cara lain, mempersatukan bermacam faksi yang bertikai pada periode awal sejarah Islam itu. Ada ungkapan lama Persia untuk menghormati Nabi:

Tu barae wasl kardan amadi; Ni barae fasl kardan amadi.
”Engkau datang untuk mempersatukan dunia, bukan memecahbelah.”

Pernyataan ini telah diteladankan dengan indah oleh kesedihan, penderitaan dan akhirnya kesyahidan Imam Husain.

Peringatan kemuliaan

Ada kecenderungan dalam sejarah kita untuk merayakan peristiwa dengan menangis dan meratap atau kadang dengan simbol seperti Tazia di India – beberapa orang menyebutnya Taboot (peringatan kesedihan dengan menyakiti badan). Simbolisme atau lambang yang nyata kadang berguna pada situasi tertentu untuk pengkristalan ide. Tapi saya pikir Muslim di India sekarang ini lebih siap untuk mengadopsi bentuk perayaan kesyahidan yang lebih efektip dengan merenungkan kemuliaan dari para syuhada, mencoba mengerti intisari dari peristiwa yang terjadi, dan mengambil pelajaran moral dan spiritual yang didapat untuk kehidupannya sendiri. Dari titik pandang itu saya pikir anda sepakat bahwa adalah bagus kita bisa duduk bersama, bahkan dari agama yang beda, dan mempelajari peristiwa besar sejarah dimana diteladankan kemuliaan yang menggetarkan jiwa seperti mereka yang teguh iman, yang keberaniannya bergeming, yang berfikir untuk kepentingan orang lain, yang rela mengorbankan diri, yang penuh ketabahan dalam kebenaran dan yang tidak gentar memerangi kebatilan. Islam punya catatan sejarah yang memperlihatkan keintiman yang indah, dengan penderitaan, dengan perjuangan spiritual yang tak ada bandingannya. Catatan sejarah yang sangat berharga tersebut, saya sesalkan, sering terlupakan. Sangatlah penting sekali untuk memberi perhatian kepada catatan sejarah itu, perhatian yang terus menerus, perhatian dari orang-orang kita sendiri, juga perhatian dari mereka yang tertarik dengan kebenaran sejarah dan agama. Jika ada yang bernilai dalam sejarah Islam itu bukanlah perang, atau politik, atau ekspansi yang brilian, atau penaklukan yang agung atau bahkan intelektualitas yang dicapai orang dahulu dan diturunkan kepada kita. Dalam segi ini, sejarah kita, seperti sejarah yang lain, punya kecemerlangan dan kegelapan. Apa yang perlu ditekankan adalah semangat persatuan dalam persaudaraan dari keberanian yang bergeming dalam kehidupan moral dan spiritual.

Rencana pembahasan

Saya mengusulkan pertama-tama membahas latar belakang geografis dan sejarah. Kemudian secara singkat peristiwa aktual yang terjadi pada bulan Muharam dan akhirnya memberikan perhatian pada pelajaran agung yang bisa kita pelajari dari peristiwa itu.

Gambaran Geografis

Dalam rangka menjelaskan gambaran geografis diseputar tempat dimana tragedi besar ini terjadi, saya merasa beruntung punya ingatan pribadi tentang hal itu. Mereka membuat gambaran yang jelas di benak saya dan mungkin bisa membantu anda memahami. Ketika saya mengunjungi tempat-tempat itu pada tahun 1928, saya ingat saya datang dari Baghdad ke seluruh tempat yang dilewati oleh sungai Euphrat. Saat saya menyeberang sungai dengan perahu di Al-Musaiyib pada pagi yang cerah di bulan April, benak saya meloncat ke abad-abad yang lewat. Di sisi kiri aliran sungai anda mendapatkan tanah kuno klasik dari sejarah Babilonia, stasiun kereta Hilla, reruntuhan kota Babilon, menyaksikan salah satu peradaban kuno yang besar. Gambaran yang dikaburkan debu bahwa hanya pada tahun-tahun terakhir kita mulai menyadari kebesaran dan keagungannya. Lalu anda mendapatkan sistem aliran sungai besar Eufrat, dinamai Furat, sebuah sungai yang tiada bandingnya. Sumber air yang berhulu dari berbagai tempat di pegunungan Armenia Timur, mengalir kebawah meliuk-liuk melewati daerah perbukitan, dan akhirnya melingkari sisi gurun pasir, seperti yang kita ketahui sekarang. Disetiap tempat sungai bercabang atau terhubung dengan kanal, sungai itu merubah gurun menjadi daerah perkebunan buah-buahan, yang dalam ungkapan lukisan, telah membuat gurun mekar seperti mawar. Aliran ini melingkari sisi Timur gurun Suriah dan mengalir ke daerah rawa. Di bagian yang tidak jauh dari Karbala sendiri terdapat danau-danau yang menampung airnya dan menjadi sumber-air untuk keperluan hidup. Kebawah lagi sungai ini bersatu dengan sungai lainnya, yaitu Tigris, dan gabungan aliran sungai ini dikenal sebagai Shatt-al-Arab yang mengalir ke Teluk Persia.

Air melimpah dan tragedi kehausan

Dari jaman dahulu bagian bawah Eufrat ini adalan perkebunan. Bayi dari peradaban awal, tempat pertemuan antara orang Sumeria dan Arab, dan kemudian antara orang Persia dan Arab. Tempat yang subur, pengairan yang bagus dengan pohon-pohon korma dan delima. Perkebunan penuh buah-buahan yang hasilnya dikirim ke kota-kota padat penduduk dan kegenitannya menarik Arab nomaden dari gurun dengan ternak gembalaannya. Sangatlah tragis bahwa di bagian batas dari tempat air melimpah, telah terjadi tragedi terhadap orang orang mulia yang kehausan dan dibantai karena menolak tunduk kepada kekuatan batil. Kata-kata penyair Inggris: ”Air, Air dimana-mana tapi tiada setetes minuman.” membantu gambaran anda tentang daerah perbatasan antara air melimpah dan tanah yang tandus ini.

Karbala dan Kubahnya Yang Besar

Saya masih ingat suasananya ketika saya mendekati Karbala dari arah Timur. Sinar mentari pagi menyinari Gumbaz-i-Faiz, kubah besar yang memahkotai bangunan tempat makam Imam Husain. Karbala sebenarnya terletak pada salah satu rute kafilah besar yang melintasi gurun. Kota sungai Kufa sekarang, yang dahulu pernah jadi ibukota kekhalifahan, hanyalah sebuah dusun kecil dan kota Najaf terkenal dengan makam Imam Ali, tapi kecil nilai komersilnya. Karbala, terletak di batas gurun, adalah sebuah pasar dan tempat pertemuan juga tempat ziarah suci. Tempat ini merupakan pelabuhan di gurun, mirip seperti Basra, yang terletak ke bawah lagi, yang merupakan pelabuhan di Teluk Persia. Jalan ke petirahan (mausoleum) terawat dengan indah, dan dilewati peziarah sepanjang tahun dari seluruh dunia. Lantai yang tersusun penuh warna menghiasi bangunan. Ke bagian dalam, di langit-langit dan bagian atas dinding, dipenuhi mosaik kaca. Kaca yang menangkap dan memantulkan cahaya. Pantulan cahaya yang menyorot dikombinasikan dengan ketenangan bangunan tertutup. Makamnya sendiri seperti pagar bergaris-garis, dan dibawah permukaannya ada bentuk gua, tempat dimana Syuhada menemui kesyahidan. Kota Najaf terletak sekitar 40 mil ke arah Selatan, dengan makam Imam Ali di lantai yang tinggi. Anda bisa melihat kubah emas dari jarak bermil-mil. Hanya empat mil dari Najaf dan terhubung dengan jalur trem, adalah reruntuhan kota Kufah. Mesjidnya besar tapi jarang dipergunakan. Kubah biru dan Mihrab dengan lantai keramik menjadi saksi kebesaran tempat ini pada jaman dahulu.

Kota-kota dan Kebudayaannya

Bangunan-bangunan di Kufa dan Basra, dua tempat dari Kerajaan Islam pada tahun ke 16 Hijriah, adalah simbol nyata bagaimana Islam memperlihatkan kekuasaannya dan membangun peradaban, tidak hanya dari aspek militer, tapi bidang moral dan sosial dan bidang ilmu pengetahuan dan seni. Kota-kota kuno yang merosot tidak mengisi sistem nilainya, kecuali dengan kekunoan dan kemerosotan yang tergantikan. Tidak juga diisi oleh sistem nilai pada awal kota terbentuk. Sistem nilai itu akan selalu dinilai, diuji, dibuang dan diperbaharui oleh karya tangannya sendiri. Selalu ada pihak yang bertahan dengan sistem nilai kuno, seperti kota Damaskus misalnya, yang mencintai kemudahan hidup dan jalan yang sedikit tantangan. Tetapi jiwa-jiwa yang besar berkembang mencapai gagasan-gagasan baru, juga tempat-tempat baru. Mereka merasakan bahwa sistem nilai lama penuh dengan kebusukan yang membahayakan untuk meraih nilai kehidupan yang lebih tinggi. Bentrokan diantara sistem nilai ini adalah bagian dari tragedi Karbala. Di balik bangunan kota-kota baru ini sering lahir pengembangan gagasan-gagasan baru. Mari kita perhatikan permasalahannya lebih rinci lagi. Akan terungkap dan mengalir keluar bagian menarik dari sejarah yang tersembunyi.

Perkembangan Kota Mekah dan Madinah

Kota-kota besar Islam pada kelahirannya adalah Mekah dan Madinah. Kota Mekah, pusat ziarah Arab kuno tempat lahir Nabi, menolak ajaran Nabi dan mengusirnya keluar. Sistem pemujaannya sudah merosot, sistem kesukuan yang eksklusif sudah merosot, kegarangannya terhadap Guru dari Cahaya Baru sudah merosot. Nabu mengibas debu di kakinya dan pergi ke Madinah. Kota itu adalah Yastrib, dengan air melimpah dan dengan populasi Yahudi yang cukup besar. Kota itu menerima Nabi dengan antusiasme terhadap ajaran Nabi, dan memberikan perlindungan kepadanya dan sahabatnya (Muhajirin) dan penolongnya (Anshar). Nabi mereformasi dan menamakannya Kota Cahaya baru. Mekah, dengan pemujaan kuno dan kepercayaan kuno, mencoba menaklukan Cahaya baru ini dan menghancurkannya. Jumlah orang Mekah lebih banyak. Tetapi rencana Tuhan memenangkan Cahaya dan menaklukkan Mekah kuno. Nabi membangun sambil menghancurkan bentuk pemujaan kuno, dan menyalakan mercusuar baru di Mekah – mercusuar dari persatuan Arab dan persaudaraan manusia. Saat Nabi wafat, semangatnya tetap tinggal. Semangat yang menginspirasikan masyarakatnya dan membuat kemenangan demi kemenangan. Ketika kemenangan moral atau spiritual dan materi jalan bersamaan, semangat kemanusiaan ikut berkembang. Tetapi kadang ada kemenangan materi dengan kejatuhan spiritual, dan kadang ada kemenangan spiritual dengan kejatuhan materi, dan kemudian terjadilah tragedi.

Semangat Damaskus

Perkembangan Islam pertama adalah ke arah Suriah, dimana kekuasaan terpusat di kota Damaskus. Diantara kota yang ada, mungkin kota ini tertua di dunia. Pasarnya ditumpahi oleh orang-orang dari seluruh bangsa dan kemewahan dari segala bangsa ada disini. Jika anda datang ke arah Barat dari gurun Suriah, seperti yang saya lakukan, akan merasakan perbedaan yang jelas, perbedaan negara dan orang-orangnya. Dari pasir gurun kering anda datang ke mata air, kebun-kebun anggur, anggrek dan bising kota. Dari Arab yang sederhana, kekar, merdeka dan jujur anda datang ke Suriah yang lembut, mewah dan rumit. Perbedaan ini dipaksakan kepada kaum muslim ketika Damaskus menjadi kota Islam. Mereka ada dalam atmosfir yang beda. Beberapa larut dalam pengaruh lembut dari ambisi, kemewahan, kebanggaan ras, cinta kemudahan dan sebagainya. Islam selalu berdiri sebagai juara kemuliaan moral yang tegas. Dia tidak berkompromi dengan kejahatan dalam berbagai bentuk, dengan kemewahan, dengan kemalasan, dengan kegenitan duniawi. Dia menolak diri dari hal-hal tersebut. Walaupun begitu orang yang seharusnya berbuat begitu, menjadi lembek di Damaskus. Mereka meniru pangeran dunia yang merosot dibanding bertahan menjadi pemimpin pemikiran spiritual. Disiplin dikendurkan dan gubernur berambisi menjadi lebih besar daripada Khalifah. Hal ini melahirkan buah pahit di kemudian hari.

Tipuan-Tipuan Kekayaan

Sementara itu Persia masuk ke dalam kekuasaan Muslim. Ketika Medain dikuasai di tahun 16 Hijriah, pertempuran Jalula menghancurkan pertahanan Persia, pampasan perang dibawa ke Madinah- permata, mutiara, rubi, berlian, pedang emas dan perak. Perayaan besar diadakan untuk menghormati kemenangan besar dan pahlawan-pahlawan tentara Arab. Di tengah perayaan mereka menemukan Khalifah sedang menangis. Seseorang bertanya kepadanya, ”Apa! Waktu bergembira dan engkau menangis?” ”Ya.”, ujarnya ”Aku meramalkan kekayaan akan menjadi tipuan, sumber keduniawian dan dengki, dan akhirnya malapetaka pada rakyatku.” Karena Arab menghargai, diatas segalanya, kesederhanaan hidup, keterbukaan, dan keberanian di depan bahaya. Wanitanya bertempur bersama mereka dan berbagi bahaya. Mereka bukan makhluk yang terpenjara oleh kesenangan indrawi. Mereka menunjukkan kegagahan pada ronde awal pertempuran di daerah kepala Teluk Persia. Ketika tertekan, wanita mereka membalikkan keadaan. Mereka membuat kerudung menjadi bendera dan ikut berbaris dalam barisan tempur. Lawan salah menafsirkan dan menganggapnya sebagai bantuan pasukan baru dan meninggalkan pertempuran. Kemudian kekalahan yang menghampiri berbalik menjadi kemenangan.

Basra dan Kufah: Perencanaan Kota

Di Mesopotamia muslimin tidak membuat basis kekuasaannya pada kota-kota Persia kuno dan merosot, tetapi membangun tempat baru untuk mereka. Pertama kali dibangun adalah Basra di daerah kepala Teluk Persia, di tahun 17 Hijriah. Dan menjadi Kota Besar! Bukan kebesaran dalam perang dan penaklukan, bukan pula dalam perdagangan dan jual beli, tetapi dalam pengetahuan dan kebudayaan pada puncaknya; tapi sayangnya ! Juga kebesaran dalam semangat perpecahan dan kemerosotan pada hari-hari buruknya ! Tetapi juga situasi dan iklimnya tidak cocok sama sekali untuk karakter Arab. Kota ini rendah, lembab dan melelahkan. Di tahun yang sama orang Arab membangun kota lain dekat Teluk dan berfungsi sebagai pelabuhan di gurun, sama seperti Karbala di kemudian hari. Kota ini adalah Kufah, dibangun pada tahun yang sama seperti Basra, tapi dengan iklim yang lebih segar. Kota ini merupakan kota ekperimen pertama kali yang dibangun dengan perencanaan dalam pemerintahan Islam. Di pusat kota ada kompleks untuk mesjid besar. Kompleks ini dikitari dengan jalan-jalan yang sejuk karena ditutupi bayangan. Kompleks lain dibuat terpisah khusus untuk lalu lintas perdagangan. Jalan-jalan lurus saling bersimpangan dan lebar jalan dibuat sama. Jalan umum utama untuk lalu lintas (jangan bayangkan seperti lalu lintas di Charing Cross, Inggris) dibuat dengan lebar 60 kaki, jalan yang lebih kecil lebarnya 30 kaki, dan bahkan ada jalur kecil untuk pejalan kaki yang diatur sebesar 10.5 kaki. Kufa merupakan pusat pencerahan dan belajar. Imam Ali tinggal dan wafat disana.

Saingan dan racun Damaskus

Tetapi saingannya, kota Damaskus, ditambunkan oleh kemewahan dan kebesaran Byzantium. Kejayaan yang keropos menggantikan dasar-dasar kesetiaan dan kemuliaan militer. Racun itu menyebar ke seluruh dunia Islam. Gubernur ingin menjadi raja. Kemegahan dan cinta diri, kemudahan dan kemalasan dan foya foya tumbuh sebagai kanker; anggur dan minuman keras, skeptisisme, sinisme dan penyakit sosial menjadi ganas sampai-sampai manusia-manusia Tuhan ditenggelamkan oleh pelecehan. Mekah, yang menjadi simbol pusat spiritual, diabaikan dan dilecehkan. Damaskus dan Suriah menjadi pusat keduniawian dan kesombongan yang memotong akar-akar Islam.

Husain yang Benar menolak tunduk kepada keduniawian dan kekuasaan

Kita telah memasuki cerita pada tahun 60 Hijriah. Yazid memegang kekuasaan di Damaskus. Dia tidak peduli kepada kesucian manusia. Dia bahkan tidak tertarik pada masalah sehari-hari pemerintahan. Kesukaannya adalah berburu dan dia haus kuasa untuk kebanggaan diri. Disiplin dan penjagaan diri, keteguhan iman dan perjuangan, kemerdekaan dan persamaan sosial yang menjadi motif dasar kekuatan Islam telah dipisahkan dari kekuasaan. Mahkota Damaskus menjadi mahkota keduniawian yang didasarkan kepentingan diri pribadi dan kebesaran keluarga, menggantikan pemerintahan spiritual dengan rasa tanggungjawab ilahiah. Ada satu orang yang bisa melawan arus. Dia adalah Imam Husain. Cucu Nabi ini, berbicara tanpa takut, karena takut adalah hal asing baginya. Tetapi hidup yang bersih dan tak ternoda ini dengan kesuciannya menjadi kehinaan bagi yang punya standar lain. Mereka berupaya membuatnya tutup mulut, tapi dia tidak tutup mulut. Mereka berusaha menyuapnya, tapi dia tidak bisa disuap. Mereka berupaya memperdaya dengan menawarkan kekuasaan. Lebih jauh lagi, mereka menginginkannya mengakui kekuasaan tiran dan mendukungnya. Karena mereka tahu bahwa nurani orang bisa bangkit suatu saat dan menyapu mereka, kecuali jika orang suci ini mendukung cara mereka. Orang suci ini lebih bersiap untuk mati daripada menyerahkan prinsip yang dibelanya.

Bergerak dari kota ke kota

Madinah merupakan pusat tempat Husain mengajar. Mereka membuat dia tidak dapat tinggal di Madinah. Dia meninggalkan Madinah dan pergi ke Mekah, berharap supaya tidak diganggu. Tetapi dia tetap diganggu. Kekuasaan Suriah menginvasi Mekah. Invasi ini ditentang, bukan oleh Husain, tapi oleh orang lain. Karena Husain, orang paling berani diantara yang berani, tidak punya tentara dan persenjataan. Keberadaannya sendiri sudah menjadi gangguan dimata lawannya. Hidupnya dalam bahaya, dan juga hidup orang-orang dekat dan kerabatnya. Dia punya banyak teman, tapi takut untuk bicara. Mereka tidak seberani Husain. Tapi jauh di Kufah, sekelompok orang berkata:”Kita merasa risih dengan keadaan ini, kita harus mengajak Imam Husain berlindung di tempat kita.” Jadi mereka mengirim orang dan mengundang Imam untuk meninggalkan Mekah, untuk datang ke mereka, tinggal di antara mereka, dan mendapatkan kehormatan untuk menjadi pengajar dan pembimbing. Ingatan kepada ayahnya masih lekat di Kufah. Gubernur Kufah bersikap bersahabat dan penuh hasrat untuk menerimanya. Kufah, 40 mil dari Karbala, adalah alasan dari Tragedi Karbala. Sementara Kufah sekarang memudar, Karbala tetap ada sebagai simbol kenangan abadi dari kesyahidan.

Undangan dari Kufah

Ketika undangan Kufah sampai ke Imam, beliau merenungkannya, mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan, dan berkonsultasi dengan sahabat-sahabatnya. Dia mengirim sepupunya Muslim untuk mempelajari situasi langsung di tempatnya dan melaporkan kepadanya. Laporan hasil pengamatannya bagus, dan dia memutuskan untuk pergi. Dia tetap mencium adanya bahaya. Banyak sahabatnya di Mekah menganjurkan untuk membatalkannya. Tapi bisakah dia menggagalkan misinya ketika Kufah memanggilnya? Apakah dia seorang yang bisa dicegah, karena musuhnya telah berkomplot kepadanya, di Damaskus dan di Kufah? Setidaknya, dia disarankan untuk tidak mengajak keluarganya. Tetapi keluarga dan kerabat dekatnya tidak mau mendengar. Mereka adalah keluarga yang solid, terkenal karena kebersihan dari hidup mereka, kebaikan dan kasih sayang mereka. Jika kepala keluarga dalam bahaya, mereka akan membelanya. Imam tidak pergi hanya untuk acara kunjungan. Ada tanggungjawab yang diemban, dan mereka harus bersamanya untuk mendukungnya, tak perduli dengan resiko dan konsekwensi yang dihadapi. Kritik rendahan menganggap ada ambisi politik dari Imam. Tetapi apakah seorang dengan ambisi politik datang tanpa pasukan, melawan sesuatu yang disebut musuh negara, yang telah berniat jahat untuk menaklukannya dengan menggunakan seluruh kemampuannya dalam bidang politik, militer, politik dan finansial terhadapnya?

Perjalanan melewati gurun pasir

Imam Husain meninggalkan Mekah ke Kufah dengan seluruh keluarganya termasuk anak-anaknya. Berita yang datang kemudian membingungkan. Gubernur, yang lebih ramah, telah digantikan dengan yang baru yang lebih kejam dan siap untuk melaksanakan rencana Yazid. Jika Husain jadi pergi, dia harus pergi dengan cepat atau teman-temannya dalam bahaya. Di pihak lain, Mekah sendiri tidak lebih aman untuk dia dan keluarganya. Saat itu bulan September dan tidak ada orang yang bepergian melewati gurun dengan panas seperti itu. Dalam tahun komariah, saat itu adalah bulan haji di Mekah. Tetapi dia tidak berhenti untuk berhaji. Dia jalan terus, dengan keluarga dan kerabatnya, dengan jumlah sekitar 90 sampai 100 orang, terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak. Mereka menempuh 900 mil melewati gurun pasir dalam waktu 3 minggu lebih. Ketika hampir sampai ke Kufah, di batas gurun, mereka bertemu dengan orang Kufah. Saat itulah terdengar berita pembunuhan Muslim, sepupu Husain, yang telah dikirim lebih dahulu. Seorang penyair melukiskan keadaan itu sebagai ”Kota yang hatinya bersamamu tapi pedangnya bersama lawanmu dan permasalahannya ada di tangan Tuhan” Apa yang harus dilakukannya? Mereka sudah melewati tiga minggu perjalanan meninggalkan Mekah. Di kota tujuan, utusan mereka telah dibunuh termasuk anaknya. Mereka tidak tahu situasi kota Kufah. Tetapi mereka memutuskan untuk tidak mengecewakan teman-temannya di Kufah.

Memilih menyerah atau mati

Utusan dari Kufah datang, dan Imam diminta untuk menyerah. Imam Husain menawarkan tiga pilihan. Dia tidak menginginkan kekuasaan atau balas dendam. Dia berkata: ”Aku datang untuk membela orang-orangku. Jika aku terlambat, berikan aku tiga pilihan: Kembali ke Mekah atau menghadapi Yazid sendiri di Damaskus atau jika kehadiranku tidak kau atau dia sukai, aku tidak berniat menyebabkan perpecahan diantara kaum muslimin. Biarkan aku pergi ke tapal batas yang terjauh, jika pertempuran tak terelakkan, aku akan bertempur melawan musuh Islam.” Semua pilihan ini ditolak. Mereka hanya menginginkan untuk menghancurkan hidupnya, atau yang lebih baik, membuatnya menyerah, menyerah kepada kekuatan yang ditentangnya, untuk menyatakan ketaatan kepada mereka yang telah melanggar hukum Tuhan dan manusia, dan untuk mentoleransi semua penyalahgunaan yang merendahkan Islam. Sudah pasti dia tidak akan menyerah. Tapi apa yang harus dilakukannya ? Dia tidak punya pasukan. Dia punya alasan untuk percaya bahwa banyak kawannya dari tempat-tempat jauh akan mendatanginya, datang dan membelanya dengan pedang dan tubuhnya. Tapi waktu sangat penting, dan dia tidak akan mendapatkannya dengan berpura-pura tunduk. Dia berputar ke kiri sedikit, ke arah yang akan mengantarkannya ke Damaskus, tempat Yazid sendiri. Dia berkemah di dataran Karbala.

Pemutusan sumber air; Keinginan Teguh, Pengabdian dan Kekesatriaan

Selama sepuluh hari pesan-pesan dikirim bolak-balik antara Karbala dan Kufah. Kufah menginginkannya menyerah dan tunduk. Hal yang tidak bisa dikabulkan Imam. Setiap pilihan lainnya ditolak oleh Kufah, dibawah perintah Damaskus. Sepuluh hari itu adalah sepuluh hari pertama di bulan Muharam, tahun 61 Hijriah. Krisis terakhir terjadi pada hari ke sepuluh, Asyura, yang kita peringati sekarang. Selama tujuh hari pertama berbagai tekanan dialami Imam, tapi keinginannya tetap teguh. Ini bukanlah tentang pertempuran, karena cuma ada 70 laki-laki melawan 4000. Kelompok kecil ini dikelilingi dan dihina, tapi mereka tetap solid sehingga tidak bisa diganggu. Hari ke delapan sumber air di putus. Sungai Eufrat yang melimpah ada dalam jangkauan mata tapi dihalangi untuk mendapatkannya. Kepahlawanan pemuda ditunjukkan untuk memperoleh air. Tantangan bertempur satu lawan satu, sesuai tradisi Arab, ditawarkan. Lawan menjadi ciut, ketika orang-orangnya Imam berkelahi berani mati dan bisa merobohkan mereka. Pada malam hari ke sembilan, anak Imam yang masih kecil sakit. Dia menderita demam dan sangat kehausan. Mereka mencoba mendapatkan setetes air. Tapi ditolak mentah mentah dan kemudian memutuskan, daripada menyerah, bertarung sampai mati. Imam Husain menawarkan orang-orangnya untuk pergi. Dia berkata: ”Mereka mengincarku, keluargaku dan orang-orangku bisa kembali ke Mekah”. Tapi semua orang menolak untuk pergi. Mereka akan bertahan sampai akhir dan memang terjadi. Mereka bukan pengecut, mereka dilahirkan dan dibesarkan untuk bertempur, dan mereka bertempur seperti pahlawan, dengan pengabdian dan kekesatriaan.

Penderitaan Terakhir; wajah tenang manusia Tuhan

Pada hari Asyura, hari kesepuluh, Imam Husain sendiriam dikelilingi musuhnya. Dengan penuh keberanian hingga saat akhir. Dia dengan kejam dibantai. Kepalanya yang suci dipenggal ketika shalat. Pesta kemenangan yang sangat biadab dirayakan di atas mayatnya. Pada saat kritis ini kita tahu rincian kejadian setiap jam. Dia menderita 45 luka dari pedang dan tombak musuh, dan 35 tusukan anak panah. Tangan kirinya dipotong, dan tombak menghujam dadanya. Setelah semua penderitaan ini, kepalanya dipancangkan di tombak, wajahnya penuh ketenangan sebagai manusia Tuhan. Semua laki-laki gagah dari kelompoknya dibunuh dan mayatnya terinjak-injak kaki kuda. Hanya satu laki-laki yang tersisa, Ali anak Husain, dengan panggilan Zainul Abidin – ”Perhiasan Ketaatan”. Dia tinggal dalam keterasingan, belajar, menafsirkan dan mengajarkan prinsip-prinsip ketinggian spiritual yang diperoleh dari ayahnya sepanjang hidupnya.

Kepahlawanan Wanita

Ada contoh keteladanan dari wanita. Dari Zainab saudara dari Imam, Sakina anak perempuan kecilnya dan Sharibanu, istrinya di Karbala. Bertumpuk literatur sastra Islam dipersembahkan, mengabadikan kejadian yang menyentuh hati ini. Bahkan dalam airmata dan dukacita mereka ada kepahlawanan. Mereka meratapkan tragedi itu dalam kesederhanaan, cinta kasih, dan sangat manusiawi. Tetapi mereka juga menyadari kemuliaan dari pengalaman yang dialami sendiri, tentang hidup dalam kebenaran mencapai puncaknya dengan mahkota kesyahidan. Salahsatu penyair terkenal yang mengungkap kejadian ini adalah penyair Urdu, yang tinggal di Lucknow, dan wafat di tahun 1874.

Pelajaran dari Tragedi

Telah dituturkan ceritanya dengan singkat. Apa yang dapat diambil sebagai pelajaran? Tentunya ada penderitaan fisik dalam kesyahidan, dan semua kesedihan dan penderitaan mendapatkan simpati kita, - simpati yang paling dalam, murni dan besar yang kita bisa berikan. Tetapi ada penderitaan yang lebih besar daripada penderitaan fisik. Itu adalah ketika jiwa yang penuh kegagahan bangun melawan dunia; ketika niat yang mulia dilecehkan dan diolok, ketika kebenaran menemui kebuntuan. Bahkan jika sepatah kata penyerahan, sedikit melonggarkan perlawanan, banyak penderitaan dan kesedihan bisa dielakkan; dan tetap kalimat yang hangat tetap dibisikkan: ”Pada akhirnya kebenaran tidak akan bisa musnah”. Ini sangatlah benar. Kebenaran abstrak tidak punah. Itu diluar nalar manusia. Tapi keseluruhan pertempuran dipersembahkan untuk manusia yang berpegang pada kebenaran. Dan hanya bisa dilakukan oleh manusia dengan keteladanan tinggi- perjuangan spiritual dan bertahan dalam penderitaan untuk keteguhan iman dan tujuan, kesabaran dan keberanian dimana orang biasa akan menyerah atau takluk, pengorbanan kepada tujuan kebenaran dengan mengabaikan konsekwensi yang ada. Para syahid menjadi saksi, dan berhasil, yang pada saat lain disebut kegagalan. Ini terjadi pada Husain. Karena semua orang menjadi tersentuh dengan kasyahidan Husain, dan itu menjadikan kematian politik kepada Damaskus dan semua prinsip-prinsip yang dianutnya. Muharam masih memberikan kekuatan untuk bersatu kepada semua mazhab Islam, dan juga memberikan pesona kekuatan kepada non-muslim.

Pencari spiritual

Itulah, menurut saya, yang jadi nilai penting utama dari kesyahidan. Semua sejarah manusia menunjukkan semangat kemanusiaan bertahan dalam berbagai bentuk, mendapatkan kekuatan dan ketahanan dari banyak sumber. Tubuh kita, kekuatan fisik kita, telah berkembang dan berevolusi dari bentuk awal, setelah berbagai perjuangan dan kekalahan. Dunia intelektual kita punya cerita kesyahidan sendiri dan para pencari agung intelektual sering pergi dengan semangat kesyahidan. Semua penghormatan untuk mereka. Tetapi kehormatan tertinggi harus dialamatkan kepada para pencari agung dalam spiritualitas, mereka yang menghadapi hal yang menakutkan dan menolak takluk kepada kejahatan. Daripada membiarkan kehinaan dikaitkan dengan kesucian, mereka membayar dengan hidupnya sebagai akibat dari perlawanan. Bentuk pertama perlawanan yang dilakukan Imam adalah ketika dia berjalan dari kota ke kota, diburu dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi tetap tidak berkompromi dengan kejahatan. Kemudian datang pilihan efektif tetapi berbahaya, untuk membersihkan rumah Tuhan, atau hidup penuh kemudahan untuk diri sendiri yang secara tidak langsung akan mengorbankan kawan-kawan seperjuangannya. Dia memilih jalan yang berbahaya dengan pengabdian dan kehormatan, dan tidak goyah menyerahkan nyawanya dan dengan penuh keberanian. Kisahnya memurnikan perasaan kita. Kita memberikan penghormatan terbaik kepadanya dengan menerima pelajaran keberanian dan keteguhan.

Selesai.